Wednesday, June 22, 2011

Bulan, Galileo, dan Sumbangan Ilmiahnya

Sumber : Kompas 26 Agustus 2009


Bulan yang mengilhami manusia dalam banyak hal sejak dulu kala mendapatkan perspektif baru setelah ilmuwan Italia, Galileo Galilei (1564-1642), mengarahkan teropong astronomi yang baru ditemukan untuk menyibak rahasia langit.

Seperti pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya, tahun 2009 ini oleh Majelis Umum Ke-62 PBB, 20 Desember 2007 telah ditetapkan sebagai Tahun Astronomi Internasional. Penetapan tahun astronomi adalah sebagai penghormatan terhadap penggunaan teleskop pertama untuk astronomi oleh Galileo pada tahun 1609. Sejak itu, dengan teleskop yang makin lama makin kuat dan canggih, para astronom melahirkan temuan baru selama 400 tahun terakhir yang memicu revolusi ilmu pengetahuan yang memengaruhi pandangan manusia tentang alam semesta.

Tahun 1609 itu Galileo menjadi manusia pertama yang dapat mengamati dengan gamblang kawah-kawah di permukaan Bulan. Selain itu, dengan teleskopnya, ia juga dapat melihat empat bulan planet Yupiter yang paling besar, yakni Io, Europa, Ganymede, dan Callisto. Galileo melihat keempat bulan Yupiter yang kini dikenal sebagai bulan-bulan Galilean mengitari planet induknya, dan itu pula yang ia jadikan bukti untuk mendukung sistem heliosentrik—menempatkan Matahari sebagai pusat (tata surya), bukan Bumi—yang dimajukan oleh Copernicus. Temuan Galileo, dan kemudian dukungannya pada Teori Heliosentrik, amat mengguncangkan dunia pada waktu itu.

Setelah 400 tahun

Saat yang bersejarah itu sendiri dimulai ketika tanggal 25 Agustus 1609 Galileo memperlihatkan teleskop yang baru selesai dibuat kepada saudagar Venesia, dan tak lama setelah itu ia arahkan ke langit. Galileo pun melihat pegunungan yang menghasilkan bayangan di permukaan Bulan, dan ia pun menyadari bahwa benda langit itu merupakan sebuah dunia sebagaimana Bumi yang memiliki permukaan yang kompleks.

Selain bulan-bulan Yupiter, Galileo juga melihat fase-fase Venus yang serupa dengan Bulan. Hal itu juga menandakan bahwa planet itu mengelilingi Matahari, bukan Bumi. Baik bulan-bulan Yupiter maupun fase planet Venus menguatkan paham heliosentrik yang saat itu tidak didukung ajaran Gereja. Galileo juga melihat bintik Matahari, memperlihatkan bahwa Matahari bukan satu bola sempurna seperti dituntut kosmologi Yunani. Hal lain yang juga dilihat Galileo, tetapi banyak dilupakan adalah bahwa galaksi Bima Sakti, sabuk putih yang menyilang di langit, adalah tersusun dari banyak sekali bintang.

Pengamatan Galileo tersebut menyiratkan bukan saja Bumi bukanlah pusat segalanya, tetapi juga semua yang terlihat Galileo amat jauh lebih luas dan besar daripada apa yang bisa dibayangkan oleh orang pada saat itu.

Selain lebih besar, obyek langit tersebut —sejak saat itu—juga lebih tua. Para astronom dewasa ini mematok umur alam semesta pada kisaran 13,7 miliar tahun, atau sekitar tiga kali lebih tua dibandingkan Bumi, atau sekitar 100.000 kali rentang kehidupan manusia modern sebagai spesies. Lalu, kalaupun umurnya sudah bisa diperkirakan, tetapi ukuran alam semesta sebenarnya masih belum diketahui. Dengan pengetahuan yang ada sekarang ini, manusia tidak dapat mengetahui jarak yang lebih jauh dari 13,7 miliar tahun cahaya.

Dari cabang fisika, yang selama ini setia mengawal perkembangan astronomi, berkembang pemikiran bahwa alam semesta, betapapun mahaluasnya, boleh jadi hanya satu dari banyak struktur serupa, yang satu dan lainnya diatur hukum-hukum yang tak jauh berbeda. Ringkasnya, sesungguhnya ada banyak alam semesta, atau juga disebut multiverse, bukan universe (The Economist, 15/8/2009).

Sejajar Darwin

Apa yang dilihat Galileo pada tahun 1609 ibaratnya telah membedah batas penglihatan dan—dengan itu—pemahaman manusia atas alam kosmos. Jagat tempat manusia hidup di zaman Galileo bisa dikatakan ukuran yang telah diketahui. Orang Yunani saja sudah punya cukup gambaran mengenai ukuran Bumi dan jarak ke Bulan. Namun, semua itu masih merupakan jarak-jarak yang bisa dikatakan terjangkau imajinasi. Namun, setelah Galileo, lalu terbangun kosmos yang skalanya sulit dibayangkan. Belum lagi kalau argumen seperti multiverse kita perhitungkan.

Masa 400 tahun telah berlalu semenjak penemuan teleskop Galileo, dan para astronom terus berkiprah mempelajari dan menemukan hal baru, mulai dari planet yang mengelilingi bintang-bintang nun jauh di bagian lain galaksi, yang mungkin didiami makhluk asing, hingga materi gelap dan energi yang belum diketahui apa arti dan konsekuensinya. Bisa jadi, kelak juga akan lahir penemuan yang mengubah dunia sebagaimana penemuan Galileo.

Berkah pengetahuan

Berangkat dari penemuan Galileo yang kini dihormati sebagai Tahun Astronomi Internasional, pengetahuan manusia akan kosmos kini telah berkembang beraneka ragam. Sudut-sudut gelap semesta yang semula tidak diketahui setapak demi setapak mulai terkuak.

Kita di Indonesia juga telah memiliki dan mengembangkan tradisi astronomi. Ada komunitas astronom yang—meski tidak banyak relatif terhadap jumlah penduduk, dan bekerja dengan fasilitas yang bisa dikatakan ala kadarnya—terus mendedikasikan diri bagi upaya pengungkapan rahasia semesta, dan dengan itu juga semakin meningkatkan pemahaman manusia dan posisinya di semesta ini.

Sebagian dari mereka juga mendalami pemanfaatan instrumen untuk pengamatan benda-benda langit. Dalam kaitan ini kita berharap pada bulan suci Ramadhan ada berkah pengetahuan yang dapat kita simak dari kemajuan astronomi, bersamaan dengan rangkaian peringatan 400 tahun teleskop Galileo.

Dengan menyerap berkah pengetahuan itu pula kita beranjak menjadi bangsa yang semakin maju, dengan rasionalitas yang makin berkembang. Sebagaimana manusia pascapenemuan teleskop yang menyerahkan otoritas pengamatan alam dari mata telanjang ke instrumen, dalam hal-hal lain pun kita juga tidak perlu ragu untuk memercayakan sejumlah urusan kita pada instrumen ilmiah yang dilandasi oleh pengetahuan yang memadai. Tradisi yang telah diturunkan oleh Galileo hingga kini masih diikuti oleh pewaris intelektualnya yang juga cemerlang.